MENCARI cumi-cumi merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi masyarakat di gugusan pulau karang Spermonde di perairan Makassar.
Biasanya, kegiatan mencari cumi dilakukan pada malam bulan purnama, ketika bulan tampak utuh dengan cahayanya yang keperakan.
Beberapa pulau yang terdapat di Kepulauan Spermonde, antara lain Pulau Kodingareng Keke, Pulau Kodingareng, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, dan Pulau Samalona.
Menurut seorang nelayan di Pulau Kodingareng, Muhammad Faisal, pada malam purnama tak ada nelayan di pulaunya yang melaut.
Pada malam terang bulan, kata dia, semua nelayan berhenti melaut karena pada saat itu tidak ada ikan yang bisa ditangkap.
Menurut dia, ikan tidak menyukai cahaya yang terlalu terang dan pengaruh gaya grafitasi bulan pada lautan di bumi membuat laut menjadi pasang.
"Biarpun dipaksakan melaut, mereka tidak akan mendapatkan ikan. Ikan tidak mau berteduh di bawah cahaya lampu petromaks milik para nelayan, karena laut secara langsung diterangi cahaya bulan," katanya.
Tapi, tidak ada ikan, cumi pun jadi. Nelayan dan warga yang biasanya tidak bergelut dengan hasil laut pun, pada malam terang bulan itu ramai-ramai mencari cumi-cumi.
Kegiatan menangkap cumi atau dalam bahasa Makassar disebut "Pa'doang-doang" itu akhirnya menjadi tradisi bagi masyarakat pesisir di sejumlah pulau di sekitar Kota Makassar itu.
Saat berburu cumi-cumi, ada orang yang melakukannya sendiri, banyak juga yang berburu bersama-sama. Menurut Faisal, jika berburu bersama-sama, suasana menjadi penuh canda tawa.
Mereka beburu cumi-cumi menggunakan sampan kecil atau "lepa-lepa". Sampan itu berukuran panjang rata-rata tiga meter dan lebar 30 sentimeter. Lepa-lepa dilengkapi cadik.
Wilayah tangkapan mereka terutama di sekitar Pulau Kodingareng Keke dan Kodingareng. Perairan di wilayah itu dangkal, dengan kedalaman rata-rata tiga meter dan berjarak kurang lebih 30 meter dari pesisir pantai Pulau Kodingareng.
Cumi yang tertangkap bisa mencapai puluhan kilogram dalam satu harinya. Di pasar atau di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), hasil buruan mereka dihargai Rp20 ribu per kilogram.
Jika jumlah tangkapan melebihi target, para nelayan kerap mengkonsumsi cumi bersama keluarganya.
Tidak ada yang tahu, sejak kapan sekira 800 kepala keluarga di kepulauan itu mulai berburu cumi-cumi pada malam purnama.
Udang-udangan
Ketika berburu, masyarakat menggunakan umpan yang terbuat dari kayu ataupun "fiberglass" yang dibentuk menyerupai udang.
"Mangsa cumi salah satunya adalah udang. Makanya umpan dibentuk seperti udang. Kalau menggunakan udang betulan biayanya mahal," kata Faisal.
Di sisi belakang udang-udangan tersebut dipasangkan pengait yang sangat runcing dengan panjang rata-rata tiga sentimeter. Pengait yang terbuat dari baja berukuran tiga millimeter itu dibentuk menyerupai mata pancing. Alat itu dipasang tepat di bagian ekor udang secara melingkar menyerupai bunga yang mekar.
Pada sisi depan bagian bawah, udang-udangan diberi pemberat dari timah yang menempel sesuai beban yang diinginkan. Bagian kiri dan kanan atas umpan dipasangkan dua biji manik-manik yang berfungsi sebagai mata.
Selain itu, di bagian tengah kiri dan kanan dipasangi beberapa lembar bulu-bulu halus buatan, agar udang tidak miring saat berada di dalam laut.
Penggunaan umpan yang terbuat dari kayu atau fiber itu tergolong susah tapi unik. Susahnya, saat umpan atau udang itu berada di laut, nelayan wajib sesekali menarik-narik tali pancing yang terikat di mulut udang, agar udang tersebut tidak tersangkut di bebatuan karang.
Saat di dalam air, umpan tersebut bergerak naik turun layaknya udang yang menari-nari.
Kodingareng Keke
Pulau Kodingareng Keke merupakan satu pulau di Kepulauan Spermonde yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Makassar. Pulau dengan luas sekitar 500 meter persegi itu kini dikenal sebagai kampung nelayan dan pulau wisata.
Menurut tokoh masyarakat H Ismail, nama Kodingareng Keke baru digunakan sejak seorang investor masuk ke wilayah tersebut. Yohannis Yakobus, sang investor, yang memberi nama itu. Sebelumnya Kodingareng bernama Sapola.
"Tapi tak ada alasan jelas, mengapa Pak Yohannis menggunakan nama tersebut," ujarnya.
Nama Sapola berasal dari nelayan Mandar yang kerap menyinggahinya dan menjadikannya sebagai tempat singgah sementara. Kata Sapola dalam bahasa Mandar berarti rumah atau tempat persinggahan.
Pulau Kodingareng Keke dapat dicapai dari Pulau Kodingareng dengan menggunakan perahu yang oleh masyarakat Makassar disebut "jolloroq" selama 15 menit.
H. Ismail menuturkan, dulunya Pulau Kodingareng Keke tidak berpenghuni. Warga yang bermukim di sejumlah pulau yang berada di sekitar Pulau Kodingareng Keke, seperti Pulau Kodingareng, Barrang Cadi, dan Barrang Lompo menganggap pulau itu merupakan pulau pembuangan.
Menurut pria kelahiran 1925 itu, dulu, pedagang atau saudagar-saudagar sering melintasi perairan Makassar jika akan melakukan niaga di wilayah Indonesia Timur. Dalam pelayarannya itu, jika ada anak buah kapal (ABK) yang meninggal dalam perjalanan, maka jenazahnya akan dimakamkan di Kodinggareng Keke.
Karena itulah pulau tersebut dinamakan pulau pembuangan.
"Makanya ada kuburan di Pulau Kodingareng Keke," ujarnya.
Abdul Kadir, juga tokoh masyarakat di pulau itu, menceritakan, pada zaman penjajahan dulu, beberapa warga Pulau Kodingareng yang berbuat kesalahan fatal akan ditenggelamkan di pulau yang tak berpenghuni itu.
"Ada warga Pulau Kodingareng yang bernama Aha. Dia tewas ditenggelamkan oleh penjajah Belanda karena dianggap menghamili anak tirinya sendiri. Sebelum ditenggelamkan, dia terlebih dulu ditembak," kata Abdul Kadir.
Pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda, kata Kadir, pulau itu pernah dijadikan wilayah pertahahan dan akhirnya jadi medan tempur melawan penjajah di perairan Makassar.
Di sekeliling pulau itu hanya biota laut yang bisa ditemui, seperti terumbu karang dan spesies laut lainnya. Mungkin karena alasan itulah pada zaman dulu pulau itu tidak dihuni, karena tak satu pun tanaman keras ada di daratannya.
Namun, situasi sudah menjadi lebih baik saat ini. Kodingareng Keke sudah berubah wajah.
Sekitar seribu kepala keluarga kini mendiami pulau yang berjarak sekitar 13 km dari Makassar tersebut. Sebagai pulau wisata, orang yang mengunjungi pulau tersebut dapat menemui indahnya pasir putih dengan jejeran pepohonan di tepi pantai.***
Biasanya, kegiatan mencari cumi dilakukan pada malam bulan purnama, ketika bulan tampak utuh dengan cahayanya yang keperakan.
Beberapa pulau yang terdapat di Kepulauan Spermonde, antara lain Pulau Kodingareng Keke, Pulau Kodingareng, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, dan Pulau Samalona.
Menurut seorang nelayan di Pulau Kodingareng, Muhammad Faisal, pada malam purnama tak ada nelayan di pulaunya yang melaut.
Pada malam terang bulan, kata dia, semua nelayan berhenti melaut karena pada saat itu tidak ada ikan yang bisa ditangkap.
Menurut dia, ikan tidak menyukai cahaya yang terlalu terang dan pengaruh gaya grafitasi bulan pada lautan di bumi membuat laut menjadi pasang.
"Biarpun dipaksakan melaut, mereka tidak akan mendapatkan ikan. Ikan tidak mau berteduh di bawah cahaya lampu petromaks milik para nelayan, karena laut secara langsung diterangi cahaya bulan," katanya.
Tapi, tidak ada ikan, cumi pun jadi. Nelayan dan warga yang biasanya tidak bergelut dengan hasil laut pun, pada malam terang bulan itu ramai-ramai mencari cumi-cumi.
Kegiatan menangkap cumi atau dalam bahasa Makassar disebut "Pa'doang-doang" itu akhirnya menjadi tradisi bagi masyarakat pesisir di sejumlah pulau di sekitar Kota Makassar itu.
Saat berburu cumi-cumi, ada orang yang melakukannya sendiri, banyak juga yang berburu bersama-sama. Menurut Faisal, jika berburu bersama-sama, suasana menjadi penuh canda tawa.
Mereka beburu cumi-cumi menggunakan sampan kecil atau "lepa-lepa". Sampan itu berukuran panjang rata-rata tiga meter dan lebar 30 sentimeter. Lepa-lepa dilengkapi cadik.
Wilayah tangkapan mereka terutama di sekitar Pulau Kodingareng Keke dan Kodingareng. Perairan di wilayah itu dangkal, dengan kedalaman rata-rata tiga meter dan berjarak kurang lebih 30 meter dari pesisir pantai Pulau Kodingareng.
Cumi yang tertangkap bisa mencapai puluhan kilogram dalam satu harinya. Di pasar atau di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), hasil buruan mereka dihargai Rp20 ribu per kilogram.
Jika jumlah tangkapan melebihi target, para nelayan kerap mengkonsumsi cumi bersama keluarganya.
Tidak ada yang tahu, sejak kapan sekira 800 kepala keluarga di kepulauan itu mulai berburu cumi-cumi pada malam purnama.
Udang-udangan
Ketika berburu, masyarakat menggunakan umpan yang terbuat dari kayu ataupun "fiberglass" yang dibentuk menyerupai udang.
"Mangsa cumi salah satunya adalah udang. Makanya umpan dibentuk seperti udang. Kalau menggunakan udang betulan biayanya mahal," kata Faisal.
Di sisi belakang udang-udangan tersebut dipasangkan pengait yang sangat runcing dengan panjang rata-rata tiga sentimeter. Pengait yang terbuat dari baja berukuran tiga millimeter itu dibentuk menyerupai mata pancing. Alat itu dipasang tepat di bagian ekor udang secara melingkar menyerupai bunga yang mekar.
Pada sisi depan bagian bawah, udang-udangan diberi pemberat dari timah yang menempel sesuai beban yang diinginkan. Bagian kiri dan kanan atas umpan dipasangkan dua biji manik-manik yang berfungsi sebagai mata.
Selain itu, di bagian tengah kiri dan kanan dipasangi beberapa lembar bulu-bulu halus buatan, agar udang tidak miring saat berada di dalam laut.
Penggunaan umpan yang terbuat dari kayu atau fiber itu tergolong susah tapi unik. Susahnya, saat umpan atau udang itu berada di laut, nelayan wajib sesekali menarik-narik tali pancing yang terikat di mulut udang, agar udang tersebut tidak tersangkut di bebatuan karang.
Saat di dalam air, umpan tersebut bergerak naik turun layaknya udang yang menari-nari.
Kodingareng Keke
Pulau Kodingareng Keke merupakan satu pulau di Kepulauan Spermonde yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Makassar. Pulau dengan luas sekitar 500 meter persegi itu kini dikenal sebagai kampung nelayan dan pulau wisata.
Menurut tokoh masyarakat H Ismail, nama Kodingareng Keke baru digunakan sejak seorang investor masuk ke wilayah tersebut. Yohannis Yakobus, sang investor, yang memberi nama itu. Sebelumnya Kodingareng bernama Sapola.
"Tapi tak ada alasan jelas, mengapa Pak Yohannis menggunakan nama tersebut," ujarnya.
Nama Sapola berasal dari nelayan Mandar yang kerap menyinggahinya dan menjadikannya sebagai tempat singgah sementara. Kata Sapola dalam bahasa Mandar berarti rumah atau tempat persinggahan.
Pulau Kodingareng Keke dapat dicapai dari Pulau Kodingareng dengan menggunakan perahu yang oleh masyarakat Makassar disebut "jolloroq" selama 15 menit.
H. Ismail menuturkan, dulunya Pulau Kodingareng Keke tidak berpenghuni. Warga yang bermukim di sejumlah pulau yang berada di sekitar Pulau Kodingareng Keke, seperti Pulau Kodingareng, Barrang Cadi, dan Barrang Lompo menganggap pulau itu merupakan pulau pembuangan.
Menurut pria kelahiran 1925 itu, dulu, pedagang atau saudagar-saudagar sering melintasi perairan Makassar jika akan melakukan niaga di wilayah Indonesia Timur. Dalam pelayarannya itu, jika ada anak buah kapal (ABK) yang meninggal dalam perjalanan, maka jenazahnya akan dimakamkan di Kodinggareng Keke.
Karena itulah pulau tersebut dinamakan pulau pembuangan.
"Makanya ada kuburan di Pulau Kodingareng Keke," ujarnya.
Abdul Kadir, juga tokoh masyarakat di pulau itu, menceritakan, pada zaman penjajahan dulu, beberapa warga Pulau Kodingareng yang berbuat kesalahan fatal akan ditenggelamkan di pulau yang tak berpenghuni itu.
"Ada warga Pulau Kodingareng yang bernama Aha. Dia tewas ditenggelamkan oleh penjajah Belanda karena dianggap menghamili anak tirinya sendiri. Sebelum ditenggelamkan, dia terlebih dulu ditembak," kata Abdul Kadir.
Pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda, kata Kadir, pulau itu pernah dijadikan wilayah pertahahan dan akhirnya jadi medan tempur melawan penjajah di perairan Makassar.
Di sekeliling pulau itu hanya biota laut yang bisa ditemui, seperti terumbu karang dan spesies laut lainnya. Mungkin karena alasan itulah pada zaman dulu pulau itu tidak dihuni, karena tak satu pun tanaman keras ada di daratannya.
Namun, situasi sudah menjadi lebih baik saat ini. Kodingareng Keke sudah berubah wajah.
Sekitar seribu kepala keluarga kini mendiami pulau yang berjarak sekitar 13 km dari Makassar tersebut. Sebagai pulau wisata, orang yang mengunjungi pulau tersebut dapat menemui indahnya pasir putih dengan jejeran pepohonan di tepi pantai.***
Selamat Siang Celebesland / Bahari,
BalasHapusSalam Kenal,
Perkenalkan nama saya Indra. Saya dari Jakarta.
Saya baca artikel anda tentang banyak nya cumi yang ada di kepulauan di sulawesi.
Apakah anda tinggal di kepulauan sulawesi? dan apakah banyak penjual cumi di daerah sulawesi seprti yang anda sebutkan?
Bisa balas di email saya langsung di indra_saputra2005@hotmail.com atau di hp saya di 087886660784.
Saya tunggu kabar baik dan balasannya.
Terima Kasih
Regards,
Indra