Senin, 21 Februari 2011

Tak Ada Ikan Gurita pun Jadi

INDONESIA dikenal sebagai satu negara dengan laut terluas di dunia. Rakyat Indonesia bangga akan hal itu.

Namun banyak yang tak menyadari jikalau kekayaan alam yang melimpah tak lagi mudah ditemui di lautan Indonesia. Setidaknya itu dirasakan oleh nelayan di Pulau Kodingareng dan Barrang Caddi, wilayah administrasi kepulauan Spermonde di sebelah barat Kota Makassar.

Menurut mereka, koloni ikan dalam beberapa tahun terakhir semakin berkurang. Ikan semakin sulit didapat pada saat ini, terlebih bagi nelayan yang menangkap ikan dengan cara memancing.
Salah seorang nelayan muda dari Kodingareng, Muhammad Faizal mengatakan, nasib nelayan akan semakin parah jika memasuki musim hujan. Tingginya ombak serta badai yang menghantam perairan Sulsel, membuat nyali mereka ciut untuk melaut.

"Saya kasihan juga melihat teman-teman di pulau. Mereka juga bingung mau bekerja apa kalau tidak melaut," ujar pria berusia 23 tahun itu.

Menurut dia, selama ini nelayan Kodingareng dan Barrang Caddi berburu ikan Tenggiri dan beberapa jenis ikan lainnya. Namun karena ikan makin sulit ditemui, pendapatan nelayan tidak mencukupi untuk menutupi biaya melaut. Mereka pun memutuskan tidak lagi menangkap ikan.

Dalam dua bulan terakhir, setelah musim hujan usai, nelayan Kodingareng dan Barrang Caddi lebih suka berburu gurita. "Gurita masih mudah didapat dan harganya sangat tinggi dibanding ikan," kata Faisal, nelayan yang juga mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta di Makassar.

Saat melakukan perburuan, setiap nelayan mampu menangkap 2-3 ekor gurita sehari. Berat gurita tangkapan rata-rata 5-10 kilogram per ekor. Para nelayan itu dibayar dengan upah Rp25 ribu per kilogram.

Faisal menjelaskan, jika nelayan mendapat dua ekor dengan berat total sepuluh kilogram, maka nelayan tersebut mendapat penghasilan sekitar Rp250 ribu per hari. Pendapatan itu relatif tinggi, jika dibandingkan dengan hasil tangkapan ikan yang hanya Rp100-150 ribu.

Wilayah perburuan gurita juga tidak terlalu jauh dari daratan, sehingga tidak beresiko tinggi bagi nelayan. Jika menangkap ikan, mereka harus melaut hingga ratusan kilometer. Itupun belum tentu mendapat tangkapan yang memuaskan.


Umpan Kelapa

Gurita bisa ditangkap dengan menggunakan umpan buah kelapa sebesar kepalan tangan orang dewasa. Untuk menarik perhatian gurita, umpan dari kelapa yang tak terlalu besar itu didesain dan dibentuk menyerupai ikan Buntal. Sebab, gurita selalu menjadikan ikan Buntal sebagai mangsanya.

Nelayan membeli umpan kelapa dari para perajin umpan yang banyak terdapat di dua pulau tersebut. Para perajin dapat menyelesaikan umpan rata-rata dua buah dalam satu hari dengan harga jual Rp100 ribu per satu buah umpan.

Ketika sedang berburu, umpan akan diturunkan menggunakan tali tambang plastik berukuran enam milimeter. Ukuran tambang itu cukup untuk menahan tarikan gurita yang cukup keras.

Menurut salah seorang perajin umpan di Pulau Kodingareng, Nadir, cara membuat umpan gurita, sabut dihilangkan terlebih dahulu hingga tempurung kelihatan. Kemudian dilanjutkan dengan mengerok atau menghaluskan bagian luar tempurung dengan menggunakan kertas amplas sampai halus.

Setelah proses tersebut selesai, kata dia, dilanjutkan dengan membentuk satu lubang dengan diameter lima sentimeter. Seluruh isi kelapa kemudian dikeluarkan agar memudahkan perajin memasukkan timah ke dalam ruang kelapa yang kosong tersebut.

"Cairan timah sengaja digunakan untuk menjadi bahan isian. Karena selain memiliki kepadatan untuk menahan keretakan tempurung, timah juga mudah dipotong-potong menjadi lebih kecil dan disesuaikan dengan ukuran tempurung. Timah cocok karena tidak terlalu berat diangkat dari kedalaman," ujarnya.

Nadir menjelaskan, sebelum dimasukkan ke dalam tempurung, timah terlebih dahulu dilelehkan di atas bara api dengan panas rata-rata 200 derajat. Namun sebelum pengisian, buah kelapa harus ditanam di sebidang tanah basah yang telah disiram air. Gunanya agar tempurung tidak retak atau pecah saat cairan timah dituang.

Cairan timah itu harus didiamkan hingga membeku. Setelah membeku, lubang tempurung ditutup dengan dempul agar air tidak masuk ke ruangan bagian dalam kelapa saat digunakan sebagai umpan.

Setelah semua tahapan itu, para perajin umpan gurita menutupi keseluruhan bagian luar kelapa dengan dempul yang memiliki ketebalan berkisar satu milimeter. Dilanjutkan dengan mengecet bagian luar sesuai kombinasi warna yang diinginkan.

Pemasangan pernak pernik seperti anting di beberapa sisi, merupakan langkah terakhir yang dilakukan. Adapun bahan yang digunakan sebagi pernak pernik atau anting berasal dari bahan sendok makan yang terbuat dari besi atau aluminium.

Tujuanya untuk mengundang perhatian gurita, karena anting dari bahan sendok tersebut mengeluarkan bunyi saat berada di bawah laut.

Umpan kelapa tersebut dapat digunakan para nelayan hingga berkali-kali. Biasanya mereka baru menggantinya atau membeli yang baru, jika pada saat berburu, umpan itu tersangkut di bebatuan yang ada di dasar laut sehingga harus dilepas.

Nelayan pesisir di kedua pulau itu, kini boleh jadi berlega hati. Mereka akhirnya mendapat jenis tangkapan baru, setelah sebelumnya mengalami situasi, karena ikan yang semakin berkurang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar